Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun[1]
~Menimbang Fenomena Agama dan Sosial secara Rasional
Oleh: Robith Qoshidi[2]
Biografi
Di akhir kitab sejarah al-Ibar[3] karangan Ibnu Khaldun, ada satu bab khusus yang menuliskan autobiografi Ibnu Khaldun[4]. Di sana dijelaskan dengan lengkap biografi, perjalanan karir politik, dan kejadian-kejadian bersejarah yang berkenaan dengan Ibnu Khaldun. Mungkin kalau sekarang hampir sama dengan buku diary. Dari situ kita akan mengetahui bahwa Ibnu Khaldun adalah keturunan Arab yang berasal Hadramaut, Yaman. Nenek moyangnya tercatat sebagai prajurit di antara barisan penakluk tanah Andalus. Nama prajurit itu adalah Khalid bin Khattab. Kata Khaldun sendiri berasal dari Khalid ini. Sedangkan tambahan waw dan nun di akhir kata tersebut adalah tambahan untuk panggilan orang terhormat di Andalus dan Maghrib kala itu, seperti Bani Hamdun dan Bani Zaidun.[5]
Nama panjang Ibnu Khaldun adalah Waliyuddin Abu Zaid Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Khalid bin Khattab. Lahir di Tunis, awal bulan Ramadhan tahun 732 Hijriyah yang bertepatan dengan tanggal 27 bulan mei tahun 1332 Masehi. Sejak kecil ia belajar ilmu-ilmu agama seperti tafsir, fikih madzhab Maliki, pada ayahnya dan beberapa ulama Tunis serta di luar Tunis. Pengetahuannya yang mendalam mengenai fikih Maliki ini akhirnya mengantarkannya menjadi Qadhi madzhab Maliki di saat dia mengembara ke tanah Mesir pada masa Dhahir Burkuk, setelah terlebih dahulu menjadi pengajar di al-Azhar.[6]
Di samping fikih, ia juga mendalami ilmu kalam. Itu terbukti dari karangannya yang berjudul Lubab al-Muhashshol fi Ushul ad-Din. Buku ini merupakan ringkasan dari buku Fakhr ad-Din ar-Razi[7], seorang mutakallim madzhab Asy’ariyah. Ia juga mempelajari filsafat dan mantiq. Bahkan risalah fi al-mantiq termasuk kitab yang pertama kali dikarang oleh Ibnu Khaldun.[8] Kecenderungan logis dari mantiq ini sekaligus kecenderungannya pada madzhab Sunni-Asy’ary yang berpendapat tentang kelemahan akal, akan membuat kita mudah tertipu jika kita memahami pola pandang Ibnu Khaldun secara sekilas. Karena ia dikenal sebagai intelektual yang mengakui rasionalitas, khususnya dalam sejarah, tapi menolak “filsafat” dalam kitab al-Mukaddimahnya.[9] Lha kok?! Maka untuk memahami pemikirannya dengan benar, pertama yang harus dilakukan adalah mengetahui terlebih dahulu  secara jeli ‘pola pikir’ Ibnu Khaldun, sang sejarawan, politikus, pemikir politik, sosiolog sekaligus sang fakih ini.
Epistemologi Ibnu Khaldun
Kita bisa mengetahui pola pikir Ibnu Khaldun, jika kita melihat kajian epistemologi yang ia tuangkan dalam kitab mukadimahnya. Layaknya  ‘sejarawan ilmu pengetahuan’ dia mengklasifikasikan secara komprehensif semua disiplin ilmu yang ada dalam peradaban Islam di zamannya. Saat menerangkan tiap disiplin ilmu, ia membahas secara komprehensif tema, problematika, fase perkembangan, juga menyebutkan para pakar di bidang ilmu itu serta menyebutkan kitab-kitab representatif dalam setiap disiplin ilmu.[10] Dan yang terpenting saat membahas setiap disiplin ilmu ia melakukan kritik epistemologi baik kaedah-kaedah dasar maupun pembahasan secara tematik, untuk mengetahui  sejauh mana keilmuan itu pantas dijadikan satu disiplin ilmu yang memberikan pengetahuan-pengetahuan secara pasti dan meyakinkan.
            Mengikuti pembagian konvensional tapi dengan kacamata baru, Ibnu Khaldun membagi keilmuan menjadi dua. Ada ilmu aqliyah dan ilmu naqliyah. Akan tetapi Ibnu Khaldun memperluas cakupan makna ilmu aqliyah sehingga menampung semua keilmuan yang tak berasal dari agama, baik yang rasional maupun yang tidak rasional, seperti filsafat, kimia mistik, ilmu nujum, dan ilmu sihir. Dalam ilmu naqliyah ia juga memperluas cakupan maknanya menampung semua keilmuan yang diperbolehkan oleh agama bahkan seperti tafsir mimpi dan tasawuf.
Tapi, sebagaimana penganut Asy’ariyah pada umumnya, Ibnu Khaldun berusaha untuk meminimalisir kemampuan akal dalam konstruksi ilmu agama. Jadi tugas akal bukan mencari kebenaran agama, akan tetapi menegaskan kebenaran aksioma-aksioma agama yang sudah ada dalam teks. Kalau kita lihat memang peran akal dalam ilmu naqliyah itu sangat kecil, seperti dalam hadits, fikih, bahkan tafsir. Peran akal hanyalah usaha menerapkan kaedah-kaedah universal agama pada tema-tema parsial. Hanya satu disiplin ilmu naqliyah yang memberikan keleluasaan peran akal, yaitu ilmu kalam.[11]
Tapi ilmu kalam sendiri merupakan pembelaan teks keagamaan dengan akal. Jadi profesi mutakallimin layaknya pengacara yang sedang membela terdakwa, dan terdakwanya adalah kebenaran-kebenaran agama. Akan tetapi para mutakallimin sunni menggunakan akal hanyalah untuk menegaskan kelemahan akal tersebut untuk mengetahui hakekat-hakekat ketuhanan.
            Ibnu Khaldun menegaskan bahwa poros ilmu ketuhanan adalah jiwa bukan akal. Jiwa adalah bagian dari dimensi transendental. Dan hanya jiwa inilah yang mampu merasakan dan mengetahui hakekat-hakekat ketuhanan. Akal hanya terbatas pada panca indera dan eksperimen, sedangkan tuhan adalah sesuatu yang tak bisa diketahui dengan panca indera. Tuhan hanya bisa diketahui dengan jiwa. Jadi ilmu kalam sunni adalah jembatan menuju tasawuf . Bahkan untuk meminimalisir eksistensi akal dalam ilmu agama, Ibnu Khaldun mengatakan pada zamannya, atau bahkan pada zaman sekarang juga, ilmu kalam sudah tidak dibutuhkan lagi. Pertama, karena Muktazilah sudah tidak eksis. Kedua, argumentasi para ulama mutakallimin Sunni yang tertulis dalam kitab-kitab kalam sudah terlalu cukup sebagai senjata dan tameng tauhid.[12]
Jadi tinggal bagaimana mencapai hakekat ketuhanan dengan jiwa? Caranya dengan mengosongkan hati dari perkara-perkara selain ibadah sehingga mampu menggapai hakekat ketuhanan, bahkan mengetahui kejadian-kejadian yang belum terjadi. Wasilah pengetahuannya dinamakan kasf atau musyahadah. Artinya terbukanya rahasia-rahasia tuhan. Karena saat ruh dilepaskan dari dunia materi, ia akan melewati sekat-sekat materiil menuju alam malaikat, sehingga akan tersingkap semua penutup materi kemudian datanglah ilmu-ilmu ladunni pemberiaan ilahi. Ilmu dan pengetahuan ini akan diperoleh oleh ahli riyadah dan mujahadah yang terus melakukan latihan spirituil.
Kasf sendiri hampir sama dengan mimpi yang benar (ru’yah shadiqah). Perbedaannya kasf itu mengetahui hakekat sesuatu saat sadar sedangkan mimpi itu mengetahui hakekat saat tidur dan digambarkan dengan kiasan-kiasan atau permisalan-permisalan.[13] Seperti halnya akal saat mengetahui benda-benda material kemudian akan membuat semacam imajinasi-imajinasi dalam otak, begitu juga saat jiwa mendapatkan rukyah shadiqah (mimpi yang benar), maka ia akan membuat imajinasi-imajinasi tapi tidak seperti yang ia lihat, melainkan berupa kiasan-kiasan. Contohnya, ular sebagai kiasan dari akan terjadinya sesuatu yang tak diinginkan. Sebenarnya argumentasi kebenaran dari fenomena ru’yah shadiqah ini bukanlah dari akal tapi karena teks agama membenarkan hal itu. Dalam al-Qur’an menceritakan kemampuan Nabi Yusuf menerjemahkan mimpi. Jadi dari sini kita akan mengetahui keterbatasan fungsi dan peran jiwa yang terikat dengan teks.
            Eratnya hubungan, atau bahkan ketergantungan, epistemologi yang berasal dari jiwa dengan teks keagamaan, membuat ruang epistemologi jiwa pada konstruksi ilmu aqliyah menjadi sempit.[14] Dari itu, akhirnya Ibnu Khaldun melakukan “sweeping epistemik” terhadap ilmu aqliyah yang berporos pada jiwa. “Korbannya” adalah ilmu nujum, “ilmu kimia mistik” dan ilmu sihir.
Jadi usaha untuk membagi ilmu aqliyah dan naqliyah serta kritik epistemologi di dalamnya adalah sebuah usaha memisahkan mana yang rasional dan realistis serta mana yang tidak rasional dan tidak realistis.[15] Ini adalah sebuah rekontruksi ulang keilmuan dan sumber keilmuan agar menuju ke arah yang lebih realistis dan rasionalis dan usaha untuk menggunakan fungsi akal secara benar. Dari sini kita bisa memahami penyebab kajian sejarah dan kajian sosial Ibnu Khaldun yang begitu rasional. Karena realita sosio historis adalah wahana untuk melakukan analisa-analisa rasional dan menggunakan akal, dengan tanpa menafikan peran-peran agama di dalamnya. Dengan itu kita bisa memproporsionalkan pengaruh dan peran agama pada kondisi sosial, begitu juga sebaliknya, kita bisa mengetahui pengaruh dan peran kondisi sosial terhadap dinamika agama.
Agama sebagai Fenomena Sosial
Keyakinan Ibnu Khaldun tentang sempitnya ruang akal dalam kajian ilmu naqliyah ini membuat  minimnya karya Ibnu Khaldun dalam ranah naqliyah, sekalipun ia seorang Qadhi besar. Lain halnya dalam kajian realita sosio hitoris, dia begitu intens mengkaji bidang ini. Sampai-sampai Ibnu Khaldun menyandang berbagai status intelektual karena bobot kajian ilmiahnya. Dari itu Tonibey, seorang sejarawan Inggris, mengatakan bahwa Ibnu Khaldun di samping merupakan seorang sejarawan besar, dia adalah peletak ilmu filsafat sejarah. Ibnu Khaldun pun dikenal sebagai bapak sosiolog Islam. Bahkan kajian sosiologinya yang mendalam membuat Ibnu Khaldun disamakan dengan Montesquie, seorang sosiolog barat terkenal yang berasal dari Prancis. Akhirnya, di kalangan intelektual barat Ibnu Khaldun dikenal dengan julukan Montesqiue Arab. Dalam kajian politik pun, kajian Ibnu Khaldun lebih luas dari pemikir politik klasik berpengaruh seperti Machiavelli dalam bukunya Il Principe.
Sebagai ‘pemikir politik’, Ibnu Khaldun mengklasifikasikan sistem politik dan negara dalam sejarah manusia menjadi tiga macam. Pertama, muluk thobii (autokrasi), sebuah negara yang pemerintahnya hanya menuruti hawa nafsu belaka dan sewenang-wenang. Negara hanya berlandaskan pada pemuasan syahwat dan egoisme belaka. Kedua, negara hukum, yang pemerintahnya mengusahakan pencapaian maslahat duniawi dan mencegah kerusakan dengan  standar akal. Tapi kehidupan mereka hanya materialistis belaka dan tak menghiraukan kehidupan spiritual dan dimensi etis serta dimensi agama. Kehidupan akhirat pun tak pernah dipikirkan. Dari sini maka Ibnu Khaldun menganggap ideal sistem pemerintahan model ketiga, negara syariat, yang lebih dikenal dengan khilafah. Pemerintahan model yang terakhir ini berlandaskan syariat untuk menggapai maslahat dunia dan akhirat. Maka tugas khalifah sebenarnya adalah penerus rasulullah untuk menjaga agama dan mengatur kehidupan duniawi ini.[16]
Dalam menganalisa khilafah Islamiyyah Ibnu Khaldun tidak hanya berkutat pada bagaimana bentuk khilafah menurut kacamata ontologis dan epistemologis, lebih jauh Ibnu Khaldun melakukan kajian fenomenolgis terhadap realita khilafah ini, yang akhirnya mengantarkan Ibnu Khaldun pada penemuan konsep ashabiyyah (fanatisme kesukuan).[17] Ibnu Khaldun menganggap sejarah daulah Islamiyyah berkembang karena faktor fanatisme ini. Fanatisme itu sendiri berarti sebuah persekutuan untuk saling tolong menolong dan saling menjaga dalam sebuah naungan kekuatan kabilah yang terkuat. Persekutuan semacam ini membuat kepemimpinan berwibawa dan kuat sehingga mampu menyatukan perbedaan pandangan masyarakat. Bahkan fanatisme kesukuan ini menurut  Ibnu Khaldun adalah sebuah kepastian sejarah atau deteminisme sejarah. Karena tanpa fanatisme kepemimpinan tak akan kuat.
Dari fanatisme ini pula, Ibnu Khaldun menjelaskan sebab-sebab peralihan sistem khilafah masa khulafa’ rasyidin menuju kerajaan dinasti Umayyah. Pergantian sistem ini bermula dari fitnah kubra (the big chaoz). Di saat blok Muawiyah menang paska tahkim secara politis, Muawiyah tak mempunyai pilihan lain untuk membangun kekuatan kecuali berdasarkan pendekatan fanatisme kesukuan tadi. Muawiyah tak bisa keluar dari lingkaran sistem fanatisme kesukuan yang masih kuat saat itu. Dan secara timbal balik pendekatan ini adalah satu-satunya cara untuk menyatukan pandangan masyarakat yang sedang terpecah-belah. Kemudian di saat konsep fanatisme ini dijalankan, maka ibaratkan pemenang suara terbanyak, untuk menundukkan suara yang sedikit akan mudah, dan pada gilirannya opini publik gampang untuk disatukan.
Dari sini Ibnu Khaldun menafsirkan hadits tentang “kepemimpinan dari suku Quraisy” secara profesional dan dengan kacamata maqashid syariah. Keharusan pemimpin dari suku Quraisy itu hanya di saat suku terkuat adalah suku Quraisy. Tapi jika suku terkuat bukan Quraisy lagi maka kepemimpinan dipegang oleh suku terkuat lainnya.[18] Jadi yang terpenting adalah negara kuat yang mampu merealisasikan maqhasid syariah dan menerapkan hukum sesuai syariat agama Islam.
Agama (din) sendiri dalam mukadimah Ibnu Khaldun bermakna dua. Kadang agama diartikan sebagai agama itu sendiri, kadang agama diartikan sebuah fenomena agama dalam sosio-historis.[19] Agama dengan definisi yang terakhir ini sangat erat relasinya dengan negara. Relasinya bersifat komplementer dan saling mengisi. Untuk mengaplikasikan syariat maka agama membutuhkan negara, karena syariat tak akan bisa diaplikasikan kecuali diatur oleh sistem yang bernama negara tadi.
Dan bahkan jika ditilik lebih dalam, agama tak akan ada tanpa faktor negara dan faktor fanatisme kesukuan tadi. Maka secara fenomenologis akan kita lihat pengaruh kesukuan yang sangat kuat terhadap pola keberagamaan anggota sukunya. Dari sini bisa dipahami mengapa Islamnya suku Arab, suku Madura, suku Jawa sangat cepat. Karena faktor pendekatan kesukuan tadi.
Kajian sejarah yang meluas sampai ke kajian etnologis ini adalah konskwensi dari definisi sejarah yang menurut Ibnu Khaldun merupakan kajian sosial untuk mengetahui relasi antar masyarakat, pengaruh kondisi lingkungan geografis dan kondisi sosial lainnya pada tatanan masyarakat. Ini merupakan sejarah dengan definisi yang sama sekali berbeda dengan definisi lama yang dipakai oleh sejarawan klasik seperti ath-Thabari dan Ibnu Hisyam. Bahkan dari definisi ini Ibnu Khaldun mencetuskan ilmu baru yang bernama ilmu umran (ilmu sosial/peradaban). Maka dari sinilah Ibnu Khaldun kemudian dikenal sebagai bapak sosiologi Islam.
Dan dari kajian sosiologi dan antropologi, kemudian menelisik penyebab fenomena pluralisme masyarakat. Kemudian Ibnu Khaldun melakukan kajian yang mendalam memahami perbedaan geografis yang mempengaruhi pembentukan watak, akhlak, cara berpikir dan warna kulit. Komunitas yang hidup pada iklim panas, dingin dan sedang  akan mempunyai ciri khas yang berbeda satu sama lainnya. Dan perbedaan geografis juga mengakibatkan pola mata pencaharian komunitas masyarakat berbeda-beda. Ada daerah yang masyarakatnya tumbuh dalam masyarakat petani, atau nelayan atau pedagang. Dari sini Ibnu Khaldun menemukan relasi yang sangat kuat antara kondisi ekonomi masyarakat dan pembentukan sosial. Temuan Ibnu Khaldun ini mendahului temuan Karl Marx dalam konsep materialisme historisnya.[20]
            Perbedaan antara Karl Marx dan Ibnu Khaldun adalah kalau Karl Marx menganggap faktor ekonomi adalah satu-satunya faktor pembentuk sosial, sedangkan Ibnu Khaldun menganggap ekonomi hanyalah salah satu dari faktor faktor lain yang membentuk corak sosial masyarakat. Bahkan Ibnu Khaldun pun mengakui adanya faktor supranatural dalam pembentukan masyarakat. Ibnu Khaldun menganggap bahwa setiap masyarakat pasti terpengaruh dengan agama, baik agama samawi atau agama natural. Walau tak menganggap kehadiran rasul adalah faktor penting dalam membangun masyarakat dan negara secara eksistensial, tapi Ibnu Khaldun menganggap dengan adanya rasul serta syariatnya akan membuat komunitas masyarakat, negara dan peradaban manapun akan mencapai kehidupan duniawi dan ukhrawinya yang lebih baik.[21]
Filsafat Sejarah;
Rasionalitas sebagai Awal dan Agama sebagai Akhir
Eratnya hubungan antara peradaban dan agama ini mengakibatkan sejarawan-sejarawan muslim salah kaprah dalam merumuskan metodologi penelitian sejarahnya. Sejarah bukanlah syariat. Jadi metodologi penulisan sejarah tak cukup dengan menggunakan periwayatan. Periwayatan yang berstandarkan jarh wa ta’dil akan membuat sejarah tergantung pada orang yang meriwayatkannya, bukan pada fakta sejarah. Metode tersebut memang harus digunakan dalam ranah syariat, seperti ilmu hadits. Itu karena hadits mengandung jumlah insyaiyyah yang berisi larangan atau perintah, di mana standar kebenarannya tergantung pada penisbatan hadits itu terhadap rasulullah. Lain dengan sejarah yang murni merupakan jumlah khabariyah, murni berita, yang standar kebenarannya adalah realita dan fakta.[22]
Ketergantungan pada metode periwayatan inilah yang menyebabkan sejarah yang ditulis oleh para sejarawan terdahulu banyak salah kaprah. Bahkan lebih jauh Ibnu Khaldun menemukan setidaknya empat faktor yang melatar belakangi kesalahan-kesalahan penulisan sejarah. Pertama, sejarawan hanya mau menerima berita sejarah dari aliran ideologis yang dia anut dan anti pada aliran yang diklaim sesat. Kedua, kedekatan beberapa sejarawan dengan penguasa yang  mengakibatkan sejarah ditulis untuk menyenangkan hati penguasa sehingga memungkinkan terjadinya reduksi-reduksi sejarah. Ketiga, salah memahami berita sejarah, ini diakibatkan karena sejarawan hanya menuliskan apa yang dipahami dari yang apa didengar, bukan dari fakta sejarah langsung. Keempat, terlalu percaya pada pembawa berita dan hanya bersandarkan pada metode periwayatan.[23]
Dari situlah Ibnu Khaldun melakukan kajian filosofis terhadap sejarah yang kemudian dijadikan sebagai batu pijakan menuju rancangan metodologi filsafat sejarah. Dalam penulisan sejarah Ibnu Khaldun menganggap pentingnya mengetahui karakteristik peradaban yang akan mengantarkan pada rasionalitas sejarah. Ibnu Khaldun menganggap bahwa sejarah harus dikritis secara esensial kebenaran logisnya dengan pertimbangan kemungkinan terjadinya dalam realita. Sejarah juga harus memperhatikan kausalitas, karena pasti ada sebab musabab yang melatari fenomena sejarah itu. Metode kausalitas ini mengantarkan pada faham realisme sejarah. Dari sinilah Ibnu Khaldun menganggap pentingnya membabat habis mitos-mitos pada penulisan sejarah. Apa yang dilakukan Ibnu Khaldun ini adalah sebuah usaha untuk menggantikan persepsi tentang sejarah yang mulanya hanyalah berita dan dongeng belaka, untuk menjadi sebuah disiplin ilmu.[24]
            Disiplin ilmu ini mengantarkan Ibnu Khaldun terhadap penafsiran realita sejarah yang yang kemudian menyingkap adanya “sunatullah” atau sebuah determinisme sejarah yang pasti dilewati oleh setiap peradaban. Semua peradaban pasti bermula dari fase kemunculan menuju fase kehancuran. Tidak hanya itu, Ibnu Khaldun pun berusaha untuk menafsirkan relasi ketentuan-ketentuan Allah dalam syariatnya dengan realita sejarah. Bisa kita lihat bahwa kehancuran sebuah peradaban itu menurut Ibnu Khaldun bermula saat masyarakat tidak memenuhi etika agama, seperti sombong, serakah dan suka berfoya-foya.[25]

[1]Makalah ini dipresentasikan pada kajian rutin FOSGAMA tanggal 28-10-2005
[2]Anggota FOSGAMA yang paling bandel
[3]Buku sejarah Ibnu Khaldun ini berjudul panjang kayak sepur : “Kitab al-Ibar, wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar, fi Ayyam al-Arabi wa al-‘Ajami wa al-Barbar, wa Man Asharahum min Dzawi ash-Shultani al-Akbar”
[4]Judul bab ini adalah at-Ta’rif bi Ibnu Khaldun wa Rihlatihi Gharban wa Syarqan
[5]Ali, Abdul Wahid Wafi, Abdurrahman bin Khalun, al-Jumhuriyyah al-Arabiyyah al-Muttahidah Wizarah ats-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Qaumy, tanpa tahun, hal 13
[6]Fathiyyah Nabrawy dan Muhammad Nasr, Tathawwur al-Fikry as-Siyasi fi al-Islâm, Kairo: Dâr al Ma’ârif, 1984, vol. II, hal. 266
[7]Bukunya berjudul Muhashshal al-Afkar Mutaqaddimin wa al-Mutaakhkhirin
[8]Hamilton A. R. Gibb, Studies on the Civilization of Islam, diarabkan oleh Ihsan Abbas dkk, Beirut: Dâr al-Ilm lil-Malâyîn, 1979, hal. 226
[9] Dalam kitab mukadimah ada satu bab khusus yang berjudul Ibthal al-Falsafah wa Fasad Muntahiliha
[10]Abduh asy-Syamaly, Dirasat fi Târikh al-Falsafah al-Arabiah al-Islâmiyah,Beirut: Dâr ash-Shadir) hal. 748.
[11]Ali, Abdul Wahid Wafi, op cit, hal. 275
[12] Ibnu Khaldun, al-Mukaddimah, Cairo, Dar asy-Sya’b, t.t, hal. 423
[13] Ibid, hal. 449
[14] Ibid, hal. 442
[15]Abied al-Jabiri, Nahnu wa at-Turâts, Beirut: Al-Markaz ats-Tsaqâfi al-Arabi, hal 302
[16]Dhiya’uddin ar-Rais, an-Nadhariyat as-Siyâsiyah al-Islâmiyah, Kairo: Dâr at-Turâts, cet VII, hal.124
[17] Khuriyahh Taufik Mujahid,  Al-Fikr as-Siyasi min Aflatun ila Muhammad Abduh, Kairo: Maktabah Anglo al-Misriyyah, Cet 2, thn 1992, hal.276
[18]Fathiyyah Nabrawy dan Muhammad Nasr, op cit, hal. 271
[19]  Hamilton A. R. Gibb, op cit, hal. 226
[20] Zainab Mahmud al Khudhairyi, Falsafah at-Tarikh Tarih Inda Ibnu Khaldun, Lebanon: Dar al-Tanwir, cet. 2, 1981, 131.
[21]Abduh asy-Syamaly, op cit, hal. 721
[22] Mahmud Said al-Kurdi,Ibn Khaldun; Maqal fi al-Manhaj al Tajribi, Tripoli, al-Mansyah ammah, 1984,hal.314
[23] Zainab Mahmud al-Khudairy, op cit hal.57
[24]Abid al-Jabiry, Fikr Ibnu Khaldun; al-Ashabiyyah wa ad-Daulah, Beirut, Markaz Dirosat al-Wihdah al-Arabiyyah, cet. 7, hal. 89
[25]Hamilton A. R. Gibb, op cit, hal. 228

Leave a comment